Rabu, 07 Oktober 2009

TARIF PAJAK & PTKP


TARIF PAJAK & PTKP

1.Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000,-

5%

Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,-

15%

Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,-

25%

Diatas Rp. 500.000.000,-

30%

 

 

Tarif Deviden

10%

Tidak memiliki NPWP (Untuk PPh Pasal 21)

20% lebih tinggi dari yang seharusnya

Tidak mempunyai NPWP untuk yang dipungut /potong(Untuk PPh Pasal 23)

100% lebih tinggi dari yang seharusnya

Pembayaran Fiskal untuk yang punya NPWP

Gratis

2. Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap

Tahun

Tarif Pajak

2009

28%

2010 dan selanjutnya

25%

PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek

5% lebih rendah dari yang seharusnya

Peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000

Pengurangan 50% dari yang seharusnya

3. Penghasilan Tidak Kena Pajak

No

Keterangan

Setahun

1.

Diri Wajib Pajak Pajak Orang Pribadi

Rp. 15.840.000,-

  • 2.

Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin

Rp. 1.320.000,-

3.

Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.

Rp. 15.840.000,-

4.

Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang diatnggung sepenuhnya , maksimal 3 orang untuk setiap keluarga

Rp. 1.320.000,-

4. Tambahan tarif Lainnya

Tarif Pajak yang dikenakan atas objek pajak (PBB) adalah = 0,5%
Tarif Pajak yang dikenakan atas BPHTB adalah = 5
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah = 10 %

  • Dengan Peraturan Pemerintah menjadi paling rendah = 5 %
  • Dengan Peraturan Pemerintah menjadi paling tinggi = 15 %
  • Atas ekspor barang kena pajak = 0 %

Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah
Paling rendah = 10 %
Paling tinggi = 75 %
Atas ekspor barang kena pajak = 0 %

 



Selasa, 06 Oktober 2009

Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Bagi Dokter

Pajak Penghasilan adalah pajak atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Salah satu jenis penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan adalah penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lain, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak juga termasuk sebagai objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian Wajib Pajak yang menerima penghasilan yang merupakan Objek Pajak Penghasilan, wajib membayar atau melunasi Pajak penghasilan termasuk penghasilan yang diterima Wajib Pajak
Orang Pribadi seperti Dokter.

Jenis penghasilan apa saja yang diterima Dokter dikenakan Pajak Penghasilan? Dokter karena keahliannya atau kegiatannya dapat menerima penghasilan yang berupa :
1. Gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya terkait dengan gaji, sebagai pegawai tetap;
2. Honorarium, komisi, atau fee sebagai tenaga ahli;
3. Uang saku, uang presentasi, uang rapat karena dokter sebagai peserta kegiatan.
4. Hadiah atau penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan dalam bentuk lain, karena sebagai dokter yang memberikan keuntungan bagi produsen obatobatan atau alat kesehatan lainnya;
5. Laba usaha karena sebagai dokter yang buka praktek;

Bagaimana cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima dokter?
Untuk mengetahui berapa PPh yang harus dibayar atau dilunasi dokter atas penghasilan yang diterimanya, terlebih dahulu perlu dijelaskan bahwa pembayaran atau pelunasan PPh dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu :
1. Pemotongan/Pemungutan oleh pihak pemberi hasil;
2. Penyetoran sendiri oleh Wajib pajak setelah menghitung dan memperhitungkan PPh terhutang
selama satu tahun.

Besarnya PPh atas penghasilan berupa gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya yang terkait dengan gaji, honorarium, komisi atau fee, hadiah, bonus, gratifikasi, uang saku, uang presentasi dan uang rapat, yang diberikan oleh pemberi kerja yang ditunjuk sebagai pemotong, ditentukan melalui penghitungan yang dilakukan oleh pemberi kerja tersebut. PPh yang terhutang ini disebut juga dengan PPh Pasal 21 karena diatur dalam Pasal 21 di UU PPh. Tarif yang digunakan untuk pemotongan PPh Pasal 21 khusus untuk dokter (tenaga ahli) adalah :
1. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari Penghasilan Kena Pajak;
2. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dari Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21. Dasar Pengenaan dan Pemotongan ditentukan sebesar 50% dari jumlah bruto; dan
3. Tarif 15% dari jumlah bruto (bersifat Final) khusus untuk penghasilan berupa honorarium, uang sidang, uang hadir, uang lembur, imbalan prestasi kerja, dan imbalan lain dengan nama apapun yang dananya berasal dari APBN/APBD serta yang menerimanya PNS/TNI/POLRI/Pejabat Negara golongan III/a ke atas atau Letnan Dua ke atas.

Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah
Cara penghitungannya sebagai berikut :
1. Gaji dan tunjangan serta pembayaran lainnya terkait dengan gaji, karena sebagai pegawai tetap. Misalnya Dokter A (status sendiri dan tidak mempunyai tanggungan) pegawai tetap di RS X dengan gaji dan tunjangan sebulan Rp 15.000.000, -

PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja: Gaji + Tunjangan setahun 15.000.000 x 12 = Rp180.000.000,-

Pengurang :
• Biaya jabatan (5%x jumlah bruto penghasilan setahun, maksimal Rp6.000.000) = (Rp 6.000.000,-)
• PTKP Sendiri (TK/-) = (Rp 15.840.000,-) - Penghasilan Kena Pajak = Rp158.160.000,-

PPh Pasal 21 terhutang :
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh x PKP = 5% x Rp50.000.000,- = Rp 2.500.000
15% x Rp108.160.000,- = Rp16.224.000 + Total Rp18.724.000

Dokter A wajib menerima bukti potong PPh pasal 21 dari Rumah Sakit X.

2. Honorarium, komisi atau fee, uang saku, uang presentasi, uang rapat yang dananya berasal dari APBN/APBD ataupun yang bukan.
• Misalnya Dokter A (PNS/TNI/POLRI) menerima honorarium yang dananya dari APBN/APBD sebesar Rp10.000.000. PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :
15% xRp10.000.000 = Rp1.500.000,-

Pemotongan PPh Pasal 21 ini bersifat final atau tidak diperhitungkan lagi dengan penghasilan lainnya sehingga sudah selesai penghitungan PPh, namun tetap dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh-nya (melampirkanbukti potong PPh Pasal 21 tersebut).

• Misal Dokter A (swasta) menerima uang presentasi yang dananya dari APBN/APBD sebesar Rp10.000.000, dari Departemen Kesehatan.
PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :
5% x (50% x Rp10.000.000,-) = Rp250.000,-
Dokter A (swasta) wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21 dari Departemen Kesehatan dan menghitung kembali penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh-nya.

• Misal Dokter A (swasta ataupun PNS/TNI/POLRI) menerima honorarium pada bulan Maret 2009 sebesar Rp30.000.000. dari Rumah sakit Z
PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi kerja/pemberi penghasilan :
5% x (50% x Rp30.000.000,-) = Rp750.000.-

Dokter A wajib diberikan bukti potong PPh Pasal 21.
Catatan :
a. apabila penghasilan tersebut diberikan karena pekerjaan atau jasanya bersifat berkesinambungan baik berdasarkan kontrak atau kenyataan sebenarnya, maka tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a diterapkan atas jumlah kumulatifnya.

Misalnya di bulan April 2009 Dokter A juga mendapat honorarium sebesar Rp80.000.000,- dari Rumah Sakit Z (bulan Maret 2009 telah menerima Rp30.000.000,-), sehingga jumlah kumulatifnya menjadi Rp30.000.000,- + Rp80.000.000,- = Rp110.000.000,-

Dasar Pemotongan PPh Pasal 21 dari jumlah kumulatif tersebut adalah 50% x Rp110.000.000,- = Rp55.000.000,- , sehingga PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh Rumah Sakit Z adalah :
5% x Rp50.000.000 = Rp 2.500.000,-
15% x Rp5.000.000 = Rp 750.000,- (+)
Total Rp 3.250.000,-

Karena bulan Maret telah dipotong Rp750.000,-, maka bulan April PPh yang harus dipotong Rp3.250.000,- - Rp750.000 = Rp2.500.000

b. Jumlah penghasilan bruto bagi Dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau klinik adalah sebesar jasa Dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.
Misalnya, Pasien A membayar tagihan Rumah Sakit Z sebesar 25 juta, dengan rincian uang obat Rp5.000.000,- dan uang jasa Dokter B sebesar Rp20.000.000,-. Rumah Sakit Z menerima bagi hasil dari uang jasa Dokter B sebesar 50% dari jumlah tersebut atau Rp10.000.000,- (sesuai dengan perjanjian).

Rumah Sakit Z memotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima Dokter B dari jumlah penghasilan bruto Rp20.000.000,- bukan dari jumlah penghasilan bruto setelah dikurangi bagi hasil atau Rp10.000.000,-. Sehingga PPh Pasal 21 yang dipotong Rumah Sakit Z adalah : 5% x (50% x Rp20.000.000) = Rp500.000,-

3. Hadiah atau penghargaan, bonus, gratifikasi atau imbalan dalam bentuk lain, karena sebagai dokter yang memberikan keuntungan bagi produsen obat-obatan atau alat kesehatan lainnya.
Misalnya Dokter A (bukan pegawai tetap di PT X) menerima hadiah berupa tiket pesawat dan akomodasinya dari PT X senilai Rp50.000.000.
PPh Pasal 21 yang terutang dan harus dipotong oleh pemberi penghasilan :
5% xRp50.000.000 = Rp2.500.000,-
Dokter A wajib menerima bukti potong PPh Pasal 21 dari PT X dan dan menghitung kembali penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan PPh-nya. Apabila dari hadiah tersebut ternyata tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 dari PT X, maka Dokter A wajib menghitung dan membayar sendiri Pajak Penghasilan dari hadiah tersebut di dalam SPT Tahunan PPh-nya.

4. Laba usaha karena sebagai dokter yang buka praktek
Dokter yang menerima penghasilan dari membuka praktek dapat menghitung PPh melalui 2 cara yaitu pembukuan atau pencatatan.
• Pembukuan.
Laba usaha baik dari praktek maupun pekerjaan bebas seperti dokter sebagai tenaga ahli di Rumah sakit/Klinik Kesehatan, didapat dari hasil laporan Rugi Laba. Apabila Untung maka atas keuntungan tersebut dikenakan tarif pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah terlebih dahulu dikurangi dengan PTKP setahun.
Misalnya Dokter A menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung besarnya PPh yang terutang selama satu tahun :
Peredaran bruto/Omzet : Rp500.000.000
Pengurangnya :
Biaya operasional (gaji pegawai, peralatan,
Obat, listrik, dll) :(Rp300.000.000)
Penghasilan neto : Rp200.000.000

Apabila Dokter A sumber penghasilannya hanya dari praktek, maka PPh terhutang
Penghasilan neto Rp200.000.000,-
Pengurang
PTKP (tk/-) (Rp 15.840.000,-)
PKP Rp184.160.000,-
PPh terutang :
5% x Rp 50.000.000,- = Rp 2.500.000,-
15%x Rp134.160.000 = Rp20.124.000 +
Total Rp22.624.000,-

• Pencatatan
Laba usaha dari praktek maupun pekerjaan bebas seperti dokter sebagai tenaga ahli, didapat dari peredaran atau penerimaan bruto (omzet) selama satu tahun dikalikan norma penghitungan penghasilan neto (misalnya untuk praktek di Jakarta ditentukan norma penghasilan nettonya 45%). Hasil perkalian (Penghasilan neto) tersebut dikalikan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh setelah terlebih dahulu dikurangi PTKP
Misalnya Dokter A memperoleh penghasilan dari praktek di Jakarta dengan peredaran atau penerimaan bruto (omzet) setahun Rp300.000.000, dan dari Rumah sakit Z sebagai dokter tamu (praktek) Rp200.000.000,- (PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Rumah Sakit Z sebesar Rp5.000.000,-).

PPh terutang :
Peredaran bruto setahun (Rp300.000.000,- + Rp200.000.000 = Rp500.000.000,-)
Beberapa ketentuan dalam panduan ini dapat berubah mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wajib Pajak yang memerlukan bantuan dapat menghubungi petugas Account Representative (AR) yang ada di Seksi Pengawasan dan Konsultasi atau petugas di Help Desk pada Kantor Pelayanan Pajak setempat, atau Bidang Penyuluhan Pelayanan dan Humas Kantor Wilayah DJP setempat, atau petugas di KP2KP setempat.
Penghasilan Neto
Rp500.000.000 x 45% = Rp225.000.000

Pengurang :
PTKP (tk/-) =(Rp 15.840.000)
PKP Rp209.160.000,-

PPh terutang :
5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000,-
15% x Rp159.160.000 = Rp23.874.000.-+
Total Rp26.374.000,-
PPh yang harus disetor Dokter A ke Bank Persepsi atau Kantor Pos ( diasumsikan Dokter A tidak memperoleh penghasilan lain pada tahun tersebut ) adalah :
Rp 26.374.000,- - Rp5.000.000,- = Rp21.374.000,-


Sumber: http://www.pajak.go.id

Senin, 05 Oktober 2009

BEI lobby Ditjen Pajak turunkan tarif pajak derivatif

PT Bursa Efek Indonesia (BEI) akan melobi Ditjen Pajak agar tarif pajak penghasilan (PPh) transaksi derivatif diturunkan. Pengenaan PPh sebesar 2,5% dari margin awal itu terlampau memberatkan industri pasar modal. Direktur Perdagangan dan Keanggotaan BEI Wan Wei Yiong mengatakan, pihaknya telah membentuk tim untuk mengkaji PPh transaksi derivatif. "Tim kami sudah sounding, sudah ada tim BEI yang bertemu secara informal dengan dirjen pajak untuk menjelaskan hal ini," kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurut Tiong, pajak tersebut memberatkan pelaku pasar karena terlampau tinggi. Itu pula yang menghambat rencana BEI menerbitkan produk-produk denvatif seperti futures LQ-45 dan kontrak opsi saham (KOS). Otoritas bursa semula berniat meluncurkan KOS pada Juni 2009.

Ketentuan PPh transaksi derivatif ter-cantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Derivatif berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa. PPh final sebesar 2,5% yang diterapkan mulai tahun ini dikenakan dari margin awal yang dipungut melalui lembaga kliring dan penjaminan.

Meski demikian, kata Wan Wei Yiong, saat ini otoritas bursa tetap menyiapkan aturan main transaksi produk-produk derivatif, termasuk sistem teknologi informasi (TI).

Dia mengungkapkan, mesin perdagangan bursa yang baru, yakni JATS Next-G masih memerlukan penyesuaian (baby sitting). Pasalnya, sistem tersebut baru digunakan sejak Maret 2009. "Walau bagaimanapun, tulang punggung transaksi BEI itu ada di saham. Jadi, akan dikonsentrasikan ke, saham dulu," tuturnya,

Redam 12 modus penghindaraan pajak

Mulai tahun 2010. pemerintah mengintensifkan penggalian potensi penerimaan pajak, yakni dengan meredam 12 modus penghindaran Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai Hal itu, menurut Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, dibutuhkan untuk menutup kenaikan target penerimaan pajak APBN 2010, yaitu Rp 658,3 triliun.

Menkeu menyampaikan hal itu di Jakarta pekan lalu saat memaparkan isi UU tentang APBN 2010.

Ia menjelaskan, 12 modus penghindaraan pajak itu akan di-redam dengan menggunakan mekanisme optimalisasi pemanfaatan data perpajakan (OPDP), terutama pada transaksi yang dinilai tidak wajar.

Enam jenis transaksi tidak wajar yang biasanya dilakukan untuk menghindari pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) adalah mengalihkan sebagian omzet ke persediaan akhir. Melakukan kompensasi kerugian yang tidak diperkenankan. Mengkreditkan PPh Pasal 25 dalam surat pemberitahuan (SPT) pajak lebih besar daripada sebenarnya Me-nyandingkan omzet PPh dengan omzet Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menyandingkan biaya gaji dengan PPh Pasal 21. Pembebanan biaya overhead, seperti sewa, jasa, transportasi, promosi, dan bunga, tanpa diimbangi PPh Pasal 23 atau Pasal 4 Ayat 2.

Adapun enam transaksi tidak wajar lainnya yang digunakanuntuk menghindari pembayaran PPN adalah wajib pajak tidak melaporkan sebagian pajak keluarannya Wajib pajak memungut PPN, tetapi tidak membayarkan ke kantor pajak atau tidak melaporkan dalam SPT. Wajib pajak nonperusahaan kena pajak menerbitkan faktur pajak yang sudah dikreditkan orang lain.

Selain itu, wajib pajak menggunakan surat setoran pajak (SSP) palsu. Wajib pajak melakukan restitusi, tetapi pajak lebih bayar itu dikompensasi pada bulan berikutnya. Wajib pajak terindikasi menggunakan faktur pajak fiktif.

Selain menggunakan OPDP, strategi lain yang dilakukan pemerintah adalah melanjutkan program pemetaan dan penetapan tolok ukur atas wajib pajak di sektor industri yang sama, yang dilakukan dengan lima langkah.

Pertama, memantapkan profil semua wajib pajak di kantor pelayanan pajak (KPP) madya, KPP larye taxpayer qgice/kantor wajib pajak besar) dan khusus, serta 500 wajib pajak di masing-masing KPP Pratama.

Kedua, membuat profil wajib pajak berdasarkan gedung tempat bekerja. Ketiga, pengawasan secara intensif PPh Pasal 25 dari perusahaan ritel. Keempat, mengawasi wajib pajak pribadi potensial. Kelima, optimalisasi penggalian pajak dari wajib pajak bendahara.

"Tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto) tahun 2010 ditetapkan 12,4 persen, naik dibandingkan 2009, yakni 12 persen," ujar Sri Mulyani.

Lebih dari 50% Anggota Dewan belum memiliki NPWP

Lebih dari 50% jumlah Anggota Dewan yang baru dilantik disinyalir belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang merupakan suatu kewajiban bagi rakyat Indonesia. "Sementara dari yang kita cek, 50% lebih tidak punya karena NPWP tidak dipersyaratkan makanya yang belum untuk buat dan ambil cukup dengan KTP,"ujar Kepala Biro Humas Direktorat lenderal Pajak Djoko Selamet saat ditemui seusai pelantikan anggota Dewan di gedung MPR-DPR kamis (1/10).

Djoko mengatakan saat ini tim pajak sedang mengumpulkan nama-nama anggota dewan yang belum mempunyai NPWP, namun ada kesulitan untuk mengumpulkan alamat orang-orang tersebut.

"Alamat orang Indonesia itu kan yang agak sulit karena satu nama bisa dua sampai dengan lima orang, makanya ada anggota dewan yang mampir ke stan"tegasnya.

Saat ini lanjut Djoko Direktorat pajak sedang menyisir semuanya secara satu persatu yang belum mempunyai NPWP dan akan dilihat kebenaran kewajiban dari SPT nya.

Jika terbukti ada yang belum menyelesaikan kewajibannya tetapi mempunyai SPT lanjut Djoko maka direktorat pajak tetap akan menagih dengan tegas. "Kita ingatkan masak mereka punya penghasilan dan penghasilan tambahan masak SPT ni-hil,"ungkapnya.

Namun Djoko mengingat kan agar para anggota dewan tersebut memperbaiki kewajiban terkait pajak, pasalnya dalam perpajakan memiliki undang-undang untuk memperbaiki, dimana jika sampai diperiksa oleh direktorat pajak maka dendanya akan lebih besar.

"Kalau memperbaiki itu enak dendanya kecilnya tapi kalau sampai diperiksa 200% tapi kalau sampai disik A kali jadi lebih baik perbaiki sen-diri,"tandasnya.

Anggota dewan merupakan wakil rakyat, panutan rakyat yang menjadi tauladan dan antara mereka nanti ikut menentukan anggaran. Dimana anggaran itu cukup atau tidak kan di lihat dari penghasilan, kalau penerimaan pajak baik tentunya pembelanjaannya juga akan lebih baik.

"Ialan lebih lancar dan tidak ada yang berlubang, infsrastruktur juga bagus dan juga untuk pendidikan, pajak itu sebetulnya untuk kita sendiri" pungkasnya.

Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM 2009

DPR telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada hari Rabu 16 September 2009. Berikut ini disampaikan Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM berdasarkan Pendapat Akhir Pemerintah terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tanggal 16 September 2009

(sumber www.depkeu.go.id).

Pokok-Pokok Perubahan Undang-Undang PPN dan PPnBM 2009

1. Objek dan Non Objek Pajak
* Dalam rangka menetralkan pembebanan PPN dan menambah daya saing kegiatan jasa yang dilakukan oleh pengusaha Indonesia di luar Daerah Pabean dan pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari Indonesia di Luar Daerah Pabean, maka atas ekspor JKP dan BKP Tidak Berwujud dalam RUU PPN dikenakan tarif 0% (nol persen).
* Barang hasil pertanian yang diambil langsung dari sumbernya tetap sebagai BKP yang pengenaan PPN-nya akan menggunakan mekanisme pedoman pengkreditan Pajak Masukan (Deemed Pajak Masukan).

2. Bukan Objek
* Untuk memberikan kepastian hukum, pengaturan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN, yang semula diatur dengan Peraturan Pemerintah dinaikkan ke batang tubuh UU PPN dan PPnBM.
* Untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri energi dalam negeri, barang hasil pertambangan umum yang diambil langsung dari sumbernya termasuk batubara tetap sebagai barang yang tidak dikenakan PPN.
* Dalam rangka pemenuhan gizi rakyat Indonesia dengan harga yang terjangkau, maka daging segar, telur yang belum diolah, susu perah, sayuran segar dan buah-buahan segar ditetapkan sebagai barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.
* Untuk menghindari pengenaan pajak berganda terhadap suatu objek yang sama, maka objek-objek tertentu yang sudah dikenakan pajak daerah dikecualikan dari pengenaan PPN, yaitu barang hasil pertambangan galian C, makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran. rumah makan, warung dan sejenisnya, jasa perhotelan, jasa boga atau katering.
* Untuk memberikan perlakuan yang sama, Jasa keuangan yang dilakukan oleh siapapun termasuk perbankan syariah ditetapkan sebagai bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dikenakan PPN.
3. Pengembalian (Retur) Jasa Kena Pajak (JKP)
* Agar paralel dengan perlakuan pengembalian (retur) Barang Kena Pajak, dalam RUU PPN diatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan JKP yang dibatalkan/dikembalikan sebagian atau seluruhnya.
4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
* Dengan tujuan untuk memberikan ruang kepada Pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi regulasinya, maka batas atas tarif PPnBM dinaikkan dari 75% (tujuh puluh lima persen) menjadi 200% (dua ratus persen). Tarif tertinggi sebesar 200% (dua ratus persen) akan diterapkan apabila benar-benar diperlukan.
5. Pengkreditan Pajak Masukan.
* Dalam RUU PPN diatur bahwa Pengusaha yang belum berproduksi tetap dapat mengkreditkan PPN yang telah dibayar atas pembelian barang modal. Namun demikian, apabila dalam kurun waktu tertentu pengusaha terse but ternyata gagal berproduksi maka atas PPN yang telah dikreditkan dan telah dimintakan pengembaliannya wajib dibayar kembali. Pengaturan batasan jangka waktu untuk Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang gagal berproduksi disepakati 3 (tiga) tahun sejak pengkreditan Pajak Masukan, dan berlaku untuk semua sektor usaha.
6. Restitusi PPN
* Apabila dalam suatu Masa Pajak terdapat kelebihan pajak maka atas kelebihan pajak tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan dapat direstitusi pada akhir tahun buku, kecuali Wajib Pajak tertentu yang secara mekanisme PPN akan mengalami lebih bayar seperti eksportir dan penyalur/pemasok pemerintah, diperkenankan untuk restitusi di setiap Masa Pajak. Dengan pertimbangan untuk membantu likuiditas, memberikan pelayanan yang lebih baik dan mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pajaknya (self assessment), Wajib Pajak tertentu yang memiliki resiko rendah, dapat diberikan restitusi dengan pengembalian pendahuluan tanpa melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Pemeriksaan dapat dilakukan kemudian bila diperlukan. Sanksi yang dikenakan lebih rendah dari Undang-Undang KUP yaitu 2% (dua persen) perbulan, kecuali terdapat indikasi tindak pidana perpajakan maka sanksi yang berlaku sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam UU KUP.
7. Deemed Pajak Masukan.
* RUU ini mengatur mengenai Deemed Pajak Masukan yaitu mekanisme penetapan besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan bagi Wajib Pajak tertentu, baik berdasarkan omzet maupun kegiatan usaha (sektoral), yang bertujuan untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dalam menghitung kewajiban PPN-nya.
8. Pemusatan tempat PPN terutang.
* Dalam rangka mengurangi beban administrasi Wajib Pajak, RUU memberikan kemudahan prosedur penetapan pemusatan tempat terutang yaitu cukup dengan melakukan pemberitahuan secara tertulis kepada Oirektur Jenderal pajak.
9. Saat pembuatan Faktur Pajak.
* Dalam rangka meringankan beban administrasi Wajib Pajak maka saat pembuatan Faktur Pajak adalah pada saat terutangnya pajak, yaitu pada saat penyerahan, atau dalam hal pembayaran mendahului penyerahan maka Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran. Oengan pengaturan ini, Wajib Pajak tidak perlu lagi membuat faktur penjualan (invoice) yang berbeda dengan Faktur Pajak.
* Untuk membantu likuiditas Wajib Pajak, saat penyetoran PPN dan pelaporan SPT Masa PPN yang semula paling lambat tanggal 15 (lima belas) dan tanggal 20 (dua puluh) setelah Masa Pajak berakhir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang KUP, diperlonggar menjadi paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Mengingat ketentuan ini tidak diatur dalam Undang-Undang KUP, maka ketentuan tersebut diatur dalam RUU PPN.
10. Fasilitas Perpajakan.
* Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemberian fasilitas perpajakan maka diberikan penambahan fasilitas, antara lain untuk:
o perwakilan negara asing/badan-badan internasional
o impor dan penyerahan BKP/JKP dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai pinjaman/hibah/bantuan luar negeri
o listrik dan air
o kegiatan penanggulangan bencana alam nasional
o menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, dimana perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
o bahan baku kerajinan perak
11. Restitusi Turis Asing
* Dalam RUU PPN diatur mengenai pemberian pengembalian PPN dan PPn BM atas barang bawaan yang dibawa ke luar daerah pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri (Turis Asing), dengan syarat nilai PPN minimal sebesar Rp. 500.000 (lima ratus ribu).
12. Tanggung Renteng.
* Pengaturan mengenai tanggung renteng PPN yang pada waktu pembahasan RUU KUP diputuskan dihapus karena merupakan pengaturan material, dimasukkan ke dalam RUU PPN, mengingat ketentuan ini masih sangat diperlukan untuk melindungi pembeli maupun penjual.
13. Masa Berlaku RUU PPN dan PPnBM.
* Mengingat diperlukannya waktu untuk mempersiapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, penyempurnaan sistem dan prosedur, serta pelaksanaan sosialisasi baik internal maupun eksternal maka RUU PPN dan PPnBM ini diberlakukan mulai 1 April 2010.

Penyumbang Bencana Dapat PotonganPajak Penghasilan

Jakarta, Direktur P2Humas Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak Departemen Keuangan (Depkeu), Djoko Slamet Surjoutro, mengatakan pemerintah membuat kebijakan pengakuan sumbangan sebagai biaya dalam perhitungan Pajak Penghasilan (PPh), khusus bagi para pemberi sumbangan bantuan bencana alam.
Djoko dalam siaran persnya, Minggu (4/10), menjelaskan atas terjadinya bencana alam di Sumatera Barat, Jambi, dan sekitarnya banyak masyarakat yang menyumbangkan sebagian penghasilannya. Ini untuk meringankan beban para korban bencana.
Karena banyaknya aksi menyumbang dari banyak masyarakat ini, pemerintah membuat kebijakan, berupa pengakuan sumbangan sebagai biaya dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh). Ini dimaksudkan untuk mendorong lebih banyak partisipasi masyarakat dalam meringankan beban korban gempa.

Pengaturan yang lebih terperinci atas kebijakan tersebut, Djoko, mengatakan akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sayangnya, dia belum bisa menjelaskan kapan peraturan Menkeu itu akan terlaksana.

Menurutnya, jika ada masyarakat yang menginginkan informasi lebih terpirinci dalam menghubungi call center Dirjen Pajak Depkeu di 500200.

Tingkatkan inflasi lokal

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Heriawan, mengatakan gempa bumi yang terjadi di Sumatera Barat dapat meningkatkan inflasi yang bersifat lokal.

Menurut dia, gempa tersebut efek langsungnya akan terjadi secara lokal dan dapat meningkatkan inflasi di daerah Sumatera Barat.

Inflasi akan ada di sana karena adanya gangguan distribusi yang menyebabkan kelangkaan, contoh saja BBM sudah mencapai Rp10.000 (bahkan sempat mencapai angka Rp30.000, Red) karena suplai tidak ada, tuturnya.

Rusman menambahkan kondisi tersebut dapat mengganggu perekonomian secara lokal, karena distribusi barang untuk bahan-bahan pokok juga tidak dapat disalurkan secara normal.

Secara nasional, kata dia, kondisi tersebut juga dapat mempengaruhi kondisi di daerah lain yang bergantung kepada kantong produksi barang di Sumatera Barat.

Kita lihat apakah ada produk dari Sumatera Barat yang terganggu dan gagal terkirim ke daerah lain, karena ini juga dapat menimbulkan dampak inflasi ke daerah tersebut, ujarnya.

Rusman menjelaskan, secara tidak langsung kondisi ini akan menganggu perekonomian di daerah tersebut karena akan mempengaruhi PDB daerah dan pertumbuhan ekonomi juga menjadi terhambat.

Menurut dia, gangguan terhadap perekonomian nasional dapat muncul akibat bencana ini, namun apabila segera ditangani tidak akan memberikan dampak yang luas terhadap perekonomian nasional.

Gangguan ada tapi relatif bila ditangani secara maksimal, tidak memberikan dampak secara luas terhadap perekonomian secara nasional, ujarnya.Menurut data BPS, saat ini inflasi di Sumatera Barat telah mencapai 1,56 persen.